Selasa, 19 Februari 2008

Tarombo Batak : mitos atau realita ?

Tarombo Batak : mitos atau realita ?

Merubah Paradigma .....


By. Mayamaya ( Feb '08 )

Etnis Batak, pada umumnya mengetahui apa yang disebut dengan tarombo. Dengan tarombo, generasi demi generasi etnis Batak dapat melihat garis keturunan sampai kepada turunan marga-marga keturunan yang dipakai oleh keturunan etnis Batak sejak jaman dahulu kala sampai saat ini.

Boleh dikatakan bahwa marga-marga tersebut adalah salah satu fakta bahwa seseorang tersebut adalah etnis Batak. Meski diakui pada masa kini – mungkin : akibat pernikahan silang antar etnis atau untuk “kepentingan” lain – sudah banyak diantara keturunan etnis Batak yang melepaskan “atribut” marga keturunannya.

Dibalik semua itu, kita mencoba melihat jauh kebelakang. Ada hal yang paling esensial yang perlu kita jadikan sebagai bahan pemikiran – jika kita menghubungkannya dengan fakta sejarah yang ada – bagi kita generasi abad ini. Karena sampai saat ini masih terdapat silang pendapat antara pemakai marga-marga tertentu yang tidak setuju dengan tarombo yang berlaku ditengah masyarakat etnis Batak umumnya. Bahkan bukan hanya perihal tarombo saja, perihal sejarah yang menyangkut keberadaan suku Batak di tanah leluhurnya sendiri ( Tano Batak / Sumatera Utara ) masih menyisakan berbagai polemik berkepanjangan.

Hasil penelitian para ahli sejarah sendiri sampai saat ini belum menemukan suatu kesimpulan. Temuan-temuan fakta sejarah belum mampu menjawab semua pertanyaan. Berbagai pendapat dari hasil penelitian yang telah dibukukan pun masih menuai kontroversi.


Tarombo Batak : Sarat Fenomena Mitos.

Sejak dahulu secara turun-temurun, etnis Batak mempercayai :

1) Siraja Batak adalah manusia pertama yang turun dari langit dan kemudian keturunan berpopulasi sebagai etnis Batak.
2) Siraja Batak beserta keturunannya – Guru Tetea Bulan dan Raja Isumbaon – pertama kali mendiami suatu daerah yang disebut Sianjur Mulamula.
3) Manusia Batak pada keturunan stage pertama dan kedua ini dipercayai sebagai manusia-manusia sakti yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan kekuatan magis yang tiada tandingan pada zamannya.

Dari ketiga hal diatas, kita dapat melihat dan mencermati. Sebagai mana mitos, kita tidak dapat mengukur kebenarannya secara logika. Tentu hal ini disebabkan ketiadaan fakta sejarah. Berbeda dengan catatan hasil penelitian yang menemukan berbagai peninggalan sejarah tertentu, mengelompokkannya dengan berbagai penemuan fakta sejarah lain pada jamannya dan kemudian mengambil suatu kesimpulan yang berdasarkan logika.

Pernyataan : “ Siraja Batak – adalah manusia pertama – yang berasal dari langit “ dengan sendirinya membatasi logika. Tentu ini bertentangan dengan kesimpulan para Ahli sejarah yang mengatakan : manusia yang mendiami “tano Batak” adalah manusia purba yang disebut Austroloid. Yaitu populasi manusia purba yang mendiami wilayah Asia Tenggara, Pasifik dan Australia. Hal ini didukung dengan penemuan batu yang juga ditemukan di Vietnam. Dengan dukungan penemuan batu tersebut, maka kesimpulan awal ini menjadi lebih logis.
Pertanyaannya adalah manakah lebih logis : “asal-usul etnis Batak adalah Siraja Batak yang turun dari langit” atau “manusia purba Austroloid” ?

Demikan halnya dengan negeri asal-usul “Sianjur Mula-mula”, sekali lagi : belum dapat diarahkan kepada logika karena tiadanya penemuan yang mendukung. Lalu apakah faktor pendukung yang dapat mengarahkan kita untuk dapat membenarkan tarombo ?
Mungkin kita bisa menjawab : cerita ( verbal) turun-temurun yang diwariskan oleh para leluhur. Jika demikian, jelas hal ini bukan jawaban yang logis.
Demikian halnya mengenai waktu, masa populasi Siraja Batak belum dapat diperkirakan.

Melihat realita “samar”–nya sejarah tarombo, masihkan bisa diarahkan kepada logika ?. Yang ada hanyalah upaya untuk mengarahkan tarombo dan mendekatkannya kepada logika menurut kepentingan oknum yang mengarahkannya. Wajar jika kemudian terdapat beberapa versi tarombo, menurut kepentingan masing-masing pembuat tarombo. Wajar jika kemudian hari terjadi silang pendapat mengenai tarombo, karena masing-masing pihak mempertahankan kepentingan masing-masing.
Jika demikian, lalu sampai kapan ??


Merubah Paradigma.

Kita melihat suatu hal yang paling esensial, yaitu merubah paradigma. Sudah saatnya bagi generasi etnis Batak abad ini untuk lebih opensif. Silang pendapat perihal tarombo yang berkepanjangan hanya akan membuat kita terkubur dalam paradigma lama yang “ortodok”.

Apakah tarombo begitu sakral karena dimulai dengan seorang leluhur yang turun dari langit ?. Memang sudah sepatutnya kita menghormati dan menghargai karya-karya generasi kita terdahulu. Namun akan lebih berharga lagi jika karya-karya itu di “up-grade” dengan realitis, bukan berkutat pada hal-hal berbau mitos.

Dengan merubah paradigma, membangun generasi etnis batak yang lebih realistis dan bermartabat. Generasi etnis Batak yang tidak dipusingkan dengan mitos, tanpa mempersalahkan apapun. Selain itu, merubah paradigma akan lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan merubah tarombo.

Tidak ada komentar: