Selasa, 19 Februari 2008

Tarombo Batak : mitos atau realita ?

Tarombo Batak : mitos atau realita ?

Merubah Paradigma .....


By. Mayamaya ( Feb '08 )

Etnis Batak, pada umumnya mengetahui apa yang disebut dengan tarombo. Dengan tarombo, generasi demi generasi etnis Batak dapat melihat garis keturunan sampai kepada turunan marga-marga keturunan yang dipakai oleh keturunan etnis Batak sejak jaman dahulu kala sampai saat ini.

Boleh dikatakan bahwa marga-marga tersebut adalah salah satu fakta bahwa seseorang tersebut adalah etnis Batak. Meski diakui pada masa kini – mungkin : akibat pernikahan silang antar etnis atau untuk “kepentingan” lain – sudah banyak diantara keturunan etnis Batak yang melepaskan “atribut” marga keturunannya.

Dibalik semua itu, kita mencoba melihat jauh kebelakang. Ada hal yang paling esensial yang perlu kita jadikan sebagai bahan pemikiran – jika kita menghubungkannya dengan fakta sejarah yang ada – bagi kita generasi abad ini. Karena sampai saat ini masih terdapat silang pendapat antara pemakai marga-marga tertentu yang tidak setuju dengan tarombo yang berlaku ditengah masyarakat etnis Batak umumnya. Bahkan bukan hanya perihal tarombo saja, perihal sejarah yang menyangkut keberadaan suku Batak di tanah leluhurnya sendiri ( Tano Batak / Sumatera Utara ) masih menyisakan berbagai polemik berkepanjangan.

Hasil penelitian para ahli sejarah sendiri sampai saat ini belum menemukan suatu kesimpulan. Temuan-temuan fakta sejarah belum mampu menjawab semua pertanyaan. Berbagai pendapat dari hasil penelitian yang telah dibukukan pun masih menuai kontroversi.


Tarombo Batak : Sarat Fenomena Mitos.

Sejak dahulu secara turun-temurun, etnis Batak mempercayai :

1) Siraja Batak adalah manusia pertama yang turun dari langit dan kemudian keturunan berpopulasi sebagai etnis Batak.
2) Siraja Batak beserta keturunannya – Guru Tetea Bulan dan Raja Isumbaon – pertama kali mendiami suatu daerah yang disebut Sianjur Mulamula.
3) Manusia Batak pada keturunan stage pertama dan kedua ini dipercayai sebagai manusia-manusia sakti yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan kekuatan magis yang tiada tandingan pada zamannya.

Dari ketiga hal diatas, kita dapat melihat dan mencermati. Sebagai mana mitos, kita tidak dapat mengukur kebenarannya secara logika. Tentu hal ini disebabkan ketiadaan fakta sejarah. Berbeda dengan catatan hasil penelitian yang menemukan berbagai peninggalan sejarah tertentu, mengelompokkannya dengan berbagai penemuan fakta sejarah lain pada jamannya dan kemudian mengambil suatu kesimpulan yang berdasarkan logika.

Pernyataan : “ Siraja Batak – adalah manusia pertama – yang berasal dari langit “ dengan sendirinya membatasi logika. Tentu ini bertentangan dengan kesimpulan para Ahli sejarah yang mengatakan : manusia yang mendiami “tano Batak” adalah manusia purba yang disebut Austroloid. Yaitu populasi manusia purba yang mendiami wilayah Asia Tenggara, Pasifik dan Australia. Hal ini didukung dengan penemuan batu yang juga ditemukan di Vietnam. Dengan dukungan penemuan batu tersebut, maka kesimpulan awal ini menjadi lebih logis.
Pertanyaannya adalah manakah lebih logis : “asal-usul etnis Batak adalah Siraja Batak yang turun dari langit” atau “manusia purba Austroloid” ?

Demikan halnya dengan negeri asal-usul “Sianjur Mula-mula”, sekali lagi : belum dapat diarahkan kepada logika karena tiadanya penemuan yang mendukung. Lalu apakah faktor pendukung yang dapat mengarahkan kita untuk dapat membenarkan tarombo ?
Mungkin kita bisa menjawab : cerita ( verbal) turun-temurun yang diwariskan oleh para leluhur. Jika demikian, jelas hal ini bukan jawaban yang logis.
Demikian halnya mengenai waktu, masa populasi Siraja Batak belum dapat diperkirakan.

Melihat realita “samar”–nya sejarah tarombo, masihkan bisa diarahkan kepada logika ?. Yang ada hanyalah upaya untuk mengarahkan tarombo dan mendekatkannya kepada logika menurut kepentingan oknum yang mengarahkannya. Wajar jika kemudian terdapat beberapa versi tarombo, menurut kepentingan masing-masing pembuat tarombo. Wajar jika kemudian hari terjadi silang pendapat mengenai tarombo, karena masing-masing pihak mempertahankan kepentingan masing-masing.
Jika demikian, lalu sampai kapan ??


Merubah Paradigma.

Kita melihat suatu hal yang paling esensial, yaitu merubah paradigma. Sudah saatnya bagi generasi etnis Batak abad ini untuk lebih opensif. Silang pendapat perihal tarombo yang berkepanjangan hanya akan membuat kita terkubur dalam paradigma lama yang “ortodok”.

Apakah tarombo begitu sakral karena dimulai dengan seorang leluhur yang turun dari langit ?. Memang sudah sepatutnya kita menghormati dan menghargai karya-karya generasi kita terdahulu. Namun akan lebih berharga lagi jika karya-karya itu di “up-grade” dengan realitis, bukan berkutat pada hal-hal berbau mitos.

Dengan merubah paradigma, membangun generasi etnis batak yang lebih realistis dan bermartabat. Generasi etnis Batak yang tidak dipusingkan dengan mitos, tanpa mempersalahkan apapun. Selain itu, merubah paradigma akan lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan merubah tarombo.

RIWAYAT :RAJA SILAHI SABUNGAN DAN SILALAHI NABOLAK

RIWAYAT :
RAJA SILAHI SABUNGAN DAN SILALAHI NABOLAK

( Sumber : Memory Raja Silahi Sabungan , Tumaras, J.Sihaloho )
by : Sipayung, Mayamaya – Desember 2007



Silahi sabungan pun pergi mandi, dibersihkan badan dengan jeruk purut. Badan yang penat kembali segar bugar. Selesai mandi ia pun berkemas dan pergi. Silahisabungan meneruskan perjalanannya menuju utara dan tiba diatas bukit Simandar, dilihatnya ke bawah terdapat danau yang sangat luas dan dipantai baratnya nampak hamparan tanah yang datar. Kemudian dipandangnya arah ke Balige tidak nampak lagi apa-apa karena dihalangi dolok Pusukbuhit dan pulau Samosir. Ia turun kebawah melalui lereng Laksabunga, dan ia tanah yang terhampar adalah tanah yang subur. Karena asap api di Balige tidak mungkin lagi terlihat maka Silahi sabungan berkenan tinggal disitu, yang kemudian daerah itu dinamai Silalahi Nabolak.

Di Silalahi Nabolak, Silahisabungan kemudaian membangun pondok tempat tinggalnya. Ia membuat bubu untuk perangkap ikan disungai. Setiap hari Silahi sabungan mambaca dan mempelajari isi Laklak Tumbaga Holing. Silahi sabungan menemukan ilmu kesaktian yang dapat berlayar di atas air dengan sehelai daun pohon sumpit. Kemudian ilmu Silompit Dalan ( ilmu yang mempercepat perjalanan ), Ilmu Hadatuon serta hasiat benda-benda yan ia terima sewaktu bersemedi.

1. Piso Lipat adalah alat membelah jeruk purut untuk menyembuhkan segala penyakit buatan manusia.
2. Piso Tumbuk Lada adalah alat menyembuhkan segala penyakit yang dibuat mahluk halus.
3. Piso Halasan adalah alat kerajaan dan alat memukul mundur musuh diwaktu perang.
4. Piso Sigurdung Sidua Baba adalah alat yang paling tinggi memusnahkan musuh dan melindungi diri dari segala marabahaya.
5. Siorlombing Sadopa adalah alat serba guna yang dapat dipakai sebagai tongkat petunjuk jalan kehidupan dan sebagai busur yang dapat mematikan lawan.

Dengan sebuah daun sumpit ( bulung sumpit ) Silahisabungan pergi berlayar menyusuri danau yang sangat luas itu, yang kemudian dinamai Danau Silalahi ( bhs. Batak : Tao Silalahi ).


Silahisabungan dengan Raja Pakpak ( Raja Parultep )

Setelah berbulan-bulan lamanya Silahi sabungan menetap di Silalahi Nabolak , ia dikejutkan dengan suatu peristiwa yang membawa berkah bagi hidupnya.

Seorang raja Pakpak bernama Raja Parultep, tengah berburu (menyumpit) burung di hutan Simarnasar diatas Silalahi Nabolak. Sewaktu Raja Parultop menyumpit seekor burung elang (Lali), paha burung itu kena namun burung itu tidak sampai mati. Burung elang itu kembali terbang. Raja Parultop mengejar, tetapi begitu didekati burung itu kembali terbang. Demikianlah berulang-ulang, akhirnya Raja Parultep tiba Silalahi Nabolak.

Sewaktu Raja Parultep mengejar sampai Silalahi Nabolak, burung elang itu terbang menuju pulau Samosir - melintasi Danau Silalahi yang sangat luas. Burung elang itu merasa tidak sanggup terbang sampai ke Pulau samosir, lalu burung itupun kembali ke pantai Danau Silalahi dan hinggap dekat pondokan Silahi sabungan. Burung elang dengan mudah ditangkap oleh Silahisabungan, karena sudah lelah. Raja Parultop yang memperhatikan burung elang itu kembali dan hinggap dipantai Danau Silalahi, dia bertekat akan menangkap burung elang itu hidup atau mati, walaupun hari sudah senja. Raja Parultep segera menuruni bukit Silalahi dan terus mencari kemana hinggapnya burung elang itu.
Raja Parultep tercengang melihat sorang pemuda duduk diatas pondok sambil memengang burung elang yang disumpitnya. Dengan geram dan marah Raja Parultep berkata : “ Hei, siapa kamu yang berani tinggal ditanah milikku ini ? Aku adalah Raja Pakpak yang berkuasa sampai ke pantai danau ini. Kemarikan burung elang yang kau pegang itu, kau harus dihukum dan diusir dari tempat ini, “ katanya.

Silahisabungan mendududki tanah yang dibawa dari Balige dan mengambil air yang dibawa dari Mual Sigutti, lalu dengan sopan santun dan cukup berwibawa, menjawab : “ Raja Pakpak yang mulia, saya
tidak bersalah, ucapan raja yang mengada-ngada. Saya berani sumpah, bahwa tanah yang saya duduki ini adalah tanahku dan air yang saya minum ini adalah airku, “ lalu Silahi sabungan meneguk air dari kendi ( tabu-tabu ) yang dibawanya dari Mual Sigutti.

Kemudian Silahi sabungan berkata : “ Natipniptip sanggar mambahen huru – huruan, jumolo sinungkun marga asa binoto partuturan, ia goarhu sude jolma baua mamboan. Na manungkun ma ahu marga aha ma amang ? “ , Silahi sabungan lalu turun dan memberi salam ke Raja Parultep dengan hormat. (Silahisabungan seakan berpantun dan memberitahukan namanya dan sekaligus menanyakan marga apakah gerangan raja dihadapannya supaya tidak salah dalam menyampaikan perkataan ).

Mendengar ucapan Silahi sabungan dan tutur katanya yang menawan, amarah Raja Parultep jadi hilang dan menjawab dengan ramah : “ Goarmu sude jolma baua mamboan, goarhu pe denggan ma
paboaon, I ma ulaulangku ari-ari marga Padang batangari na domu tu marga Pasaribu “, katanya. (namamu sebagaimana laki-laki, baiklah aku juga akan memeritahukan namaku yaitu sama seperti apa yang kulakukan setiap hari – berburu dengan sumpit ( bhs. Pakpak : parultep ) marga Padang batangari, sepadan dengan Pasaribu ).

Kemudian Silahi sabungan berkata :” Horas ma tulang,ai inongku pe boru Pasaribu do ”, ( horas Tulang, ibuku juga boru Pasaribu ) sambil mempersilahkan Raja Parultep naik ke pondokannya karena hari sudah mulai gelap. Ajakan Silahi sabungan dengan senang hati diterimanya dan mereka dapat bercengkrama sampai larut malam. Dalam percakapan mereka Raja Parultop menanyakan keberadaan keluarga Silahisabungan. Dijawabnya bahwa ia belum beristeri. Mendengar tutur kata Silahi sabungan nan sopan lagi santun, diam-diam Raja menaruh simpati dan ingin bermenantukan Silahi sabungan, Raja Parultep lalu berkata : “ Aku mempuyai putri 7 orang, kesemuanya sudah anak gadis. Jikalau kau berkenan menjadi menantuku besok kita pergi ke Balla. Pilihlah salah satu putriku untuk menjadi istrimu, dengan syarat tidak boleh dimadu ( na so marimbang ) sepanjang hidupmu “. Mendengar ajakan raja, Silahi sabungan menyambut dengan senang hati. Lalu Silahisabungan menjawab : “ Mana mungkin saya berani ke Balla jikalau tidak memenuhi adat istiadat, sedang aku hanya sebatangkara. Kumohon , Pamanlah membawa paribanku itu kemari, supaya disini aku pilih “.

Alasan Silahi sabungan masuk akal Raja Parultep, akhirnya menerima permintaan Silahi sabungan. Kemudian mereka menetapkan hari dan tanggal pertemuan sekaligus perkawinannya, lalu mereka sama-sama minta tidur karena sudah lelah sepanjang hari.

Silahi sabungan tidak dapat tidur memikirkan dan membayangkan putri Raja Parultep. Bagaimana cara memilihnya jikalau benar ada 7 orang putri raja. Diam-diam Silahisabungan membuka Laklak Tumbaga Holing, untuk melihat petunjuk. Dalam petunjuk terlihat putri raja hanya satu, lalu mengapa dikatakan 7 orang ?

Rupanya Raja Parultep pun tidak tidur sepanjang malam itu. Dengan berpura-pura tidur, Raja Parultep mengintip gerak-gerik Silahisabungan. Diketahuilah bahwa Silahi sabungan adalah orang sakti, bukan sembarang orang. Keesokanharinya Silahi sabungan memberangkatkan Raja Parultep pulanng ke Balla dengan oleh-oleh ikan Batak. Silahisabungan berkata : ” Jikalau rombongan Paman datang terlebih dahulu, nyalakan api diatas bukit sana dan kemudian akan saya nyalakan api dibawah ini tanda saya sudah siap menyambut Paman “. Setelah sepakat akan perjanjian mereka, Raja Parultep lalu pulang ke Balla dengan membawa banyak oleh-oleh Ikan Batak.


Pingganmatio boru Padangbatangari


Setelah Raja Parultep tiba di Balla, segera disambut istrinya dan anak-anaknya dengan gembira. Mereka terheran-heran melihat ikan batak yang begitu banyak , lalu bertanya : “ Dari mana ikan batak yang sebanyak ini ?, biasanya bapak pulang membawa daging rusa atau burung. Sekarang jadi lain, “ kata istrinya. Raja Parultep menerangkan pertemuannya dengan Silahi sabungan dan menjelaskan perjanjian mereka tentang rencana pertunangan puteri mereka dengan Silahi sabungan.

Keluarga Raja Parultep merasa gembira mendengar berita itu, lalu mempersiapkan peralatan untuk pesta pertunangan. Setelah tiba hari yang ditentukan berangkatlah Raja Parultep bersama rombongannya ke Silalahi Nabolak. Setelah tiba diatas bukit Laksabunga, Raja Parultep kemudian menyalakan api pertanda bahwa mereka sudah datang. Melihat asap api, Silahi sabungan juga segera menyalakan api sebagai pertanda bahwa ia telah siap menyambut kedatangan rombongan mempelai wanita.

Silahi sabungan menyambut rombongan Raja Parultep ditepi sungai yang agak dalam airnya. Raja Parultep bertanya dalam hati : “ Mengapa Silahi sabungan menyambut kami di sungai yang agak dalam airnya?” Silahisabungan berkata : “ Tulang suru hamu ma borumuna i sada-sada rotu bariba on, asa hupillit na gabe par sinondukhu. “ ( Paman, kiranya perintahkanlah satu-persatu putrimu menyeberang kemari, supaya kupilih yang menjadi istriku ). Akhirnya Raja Parultep bisa mengerti mengapa Silahi sabungan harus menyambut mereka ditepi sungai itu, lalu sang Raja menyuruh satu-persatu puterinya menyeberangi sungai itu, dengan menjunjung bakul berisi tipa-tipa. Dari puteri pertama sampai putri keenam, semuanya cantik rupawan dengan rambut bagaikan mayang terurai . Tetapi tak satupun jua yang mengena dihati Silahisabungan. Kemudian putri yang ketujuh rupanya sedikit jelek dan bermata juling, tiba-tiba lalu Silahi sabungan melompat kedalam sungai menyambut putrid Raja Parultep dan berkata : “ Inilah pilihanku paman, yang menjadi istriku, kiranya paman merestui dan Mulajadi Nabolon memberi berkah. Semoga kami menjadi rumah tangga yang bahagia dan mempunyai keturunan yang banyak “ , katanya.

Sebelum diberkati, Raja Parultop masih menanya Silahi sabungan lalu berkata : “ Mengapa enkgkau memilih putri bungsuku ? Lihatlah perawakannya yang pendek dan rupanya pun jelek, padahal semua kakaknya jauh lebih cantik dan badannya sintal .“ Tetapi Silahisabungan menjawab : “ Paman, memang enam orang kakak-kakaknya semuanya cantik rupawan, tetapi mereka tidak merasa sungkan ketika mereka harus menarik sarungnya keatas lutut untuk menyeberangi sungai ini, “ katanya dengan halus. Padahal yang sebenarnya Silahisabungan mengetahui bahwa keenam gadis itu bukanlah manusia melainkan manusia jadi-jadian yang sengaja diumpankan oleh Raja Parultep untuk menguji kesaktian Silahi sabungan. Namun semua itu tidak diutarakan Silahi sabungan kepada Raja Parultep, demi menjaga nama baik dan tidak mempermalukan sang Paman. Sejak saat itu, kemudian sungai itupun diberi nama “Binangsa so maila “.

Raja Parultop pun kemudian memberikan restu kepada anak dan menantunya, lalu berkata : “Goarmu ma borungku Pingganmatio boru Padangbatangari , anggiat ma tio parnidaan dohot pansarianmu tu jolo ni ari. Asa boru parsonduk bolon ma ho sipanggompar sipanggabe, partintin na rumiris, parsanggul na lumobi, paranak so pola didion, parboru so pola usaon. Panggalang panamu, sipatuat na bosur, sipanangkok na male.

Hope hela na burju Silahi sabungan, sabungan ni hata, sabungan ni habisuhon dohot sabungan ni hadatuon. Nunga dipatuduhon ho habisuhon dohot hadatuonmu dina mamillit parsinondukmon, partapian simenak-enak maho partapian naso ra monggal Parninggala sibola tali. Asa saut ma ho gabe raja bolon jala na tarbarita, pasu-pasuon ni mulajadi Nabolon,” katanya.

Setelah selesai pemberkatan, rombongan Raja Parultep kembali ke Balla, tinggalah Silahi sabungan bersama Pingganmatio boru Padangbatanghari memulai hidup yang baru. Mereka kemudian membuka kampung bernama Silalahi. Berselang sembilan bulan, rasa rindu pun mulai bergelora untuk berjumpa dengan orang tuanya. Pinggan Matio kemudian mengusulkan ke Silahisabungan untuk pergi ke Balla mengunjungi keluarga. Silahisabungan yang sangat saying kepada isteri tercinta mengabulkan dengan senang hati.


Keturunan Silahi Sabungan


Pada suatu hari pergilah Silahi sabungan bersama Pingganmatio boru Padangbatanghari ke kampung mertuanya di Balla. Sewaktu mendaki bukit Silalahi, Pingganmatio yang tengah hamil tua mulai merasa dahaga, sehingga mereka harus istirahat dilereng bukit. Rasa haus Pingganmatio kian terasa. Kemudian ia bersenandung sedih : “ Loja ma boruadi mamboan tua sian mulajadi, mauas ma tolonan ndang adong na mangubati. Jonok do berengon sillumalang na so dundungonki, boha do parsahatku tu huta ni Damang parsinuan dohot dainang pangintubu i “ , katanya. ( sudah lelah aku membawa kandunganku, rasa haus tak ada mengobati. Tampak dekat nian air danau namun tak bisa terjangkau, apakah aku akan sampai dikampung orang tuaku ).

Mendengar senandung Pingganmatio, Silahisabungan kemudian mengeluarkan Siorlombing ( tombak ) dari tas bawaanya, lalu berdoa memohon kepada Mulajadi Nabolon minta diberikan air pelepas dahaga . Kemudian Silahi sabungan menancapkan Siorlombing ke tebing batu dan keluarlah air, lalu memberikannya ke Pingganmatio untuk minum sepuas-puasnya. Air itulah kemudian di sebut ”Mual sipaulak hosa ”, yang terdapat dilereng bukit batu Silalalahi Nabolak. Setelah rasa haus Pingganmatio hilang dan tenaganya pulih, mereka kemudian meneruskan perjalanan menuju Balla. Kedatangan Silahisabungan beserta Pingganmatio disambut keluarga Raja Parultep dengan gembira, apalagi setelah melihat Pingganmatio tengah hamil tua. Melihat kehamilan Pingganmatio, Ibu mertua Silahi sabungan meminta agar putrinya sebaiknya tinggal di Balla menunggu sampai kelahiran anaknya, karena Silalahi Nabolak tidak ada teman mereka membantu.

Setelah beberapa waktu mereka tinggal di Balla, Pingganmatiopun kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Silahi sabungan merasa gembira tiada tara dan sujud bersyukur, karena dia sudah menjadi seorang ayah. Begitu juga dengan Raja Parultep dan Permaisuri, merasa berbahagia karena sudah ada cucu dari putrinya Pingganmatio. Mereka kemudian berencana untuk mengadakan syukuran kelahiran sambil membuat nama cucunya itu. Rencana itu diberitahukan kepada menantunya Silahi sabungan, yang disambut dengan senang hati.

Raja Parultep kemudian mengundang raja-raja dan penduduk negeri untuk menerima adat dari Silahi sabungan sambil menobatkan nama cucu mereka yang baru lahir. Ditengah acara syukuran itu Raja Parultep berkata : “ Bapak dan ibu yang kami hormati, sudah lebih satu tahun puteri kami Pinggan matio berumah tangga dengan Silahi sabungan dan telah dianugerahi Yang Maha Kuasa seorang anak laki-laki. Selama ini kami merasa ragu-ragu karena belum melaksanakan adat yang berlaku. Hari ini tibalah saatnya anak menantu kami membayar adat, memberi nama cucu yang baru lahir dan sekaligus menobatkan ayahnya sebagai Raja.” Kemudian Raja Parultop mengatakan : “ Nunga lolo raja, jala nunga loho roha. Hubahen ma goar ni pahompu on si Lohoraja.” ( sudah berkumpul semua Raja, dan hatipun telah puas. Maka kuberikan nama cucuku ini Si Lohoraja ).

Beberapa minggu setelah pesta, Raja Silahisabungan dengan istrinya Pingganmatio pun ingin kembali ke Silalahi Nabolak. Selama dua tahun mereka tidak pernah lagi datang ke Balla. Karena sudah dua tahun tak pernah datang Silahi sabungan dan Pingganmatio ke Balla, rasa kangen dan rindu Raja Parultop timbul lalu berkata kepada istrinya : “ Sitingkir jolo borunta tu Silalahi, nungga tung masihol ahu“, katanya. Bertepatan dengan kedatangan Raja Parultep di Silalahi Nabolak, Pingganmatio melahirkan anak kedua seorang laki -laki. Kemudian anak itu diberi nama si Tingkirraja atau Tungkirraja.

Pada suatu ketika Silahi sabungan bertukang membuat tempat tidur ( rusbang ) dari kayu bulat yang disebut Sondi. Setelah tempat tidur selesai dikerjakan , Pingganmatio melahirkan anak laki–laki ketiga yang kemudian diberi nama Sondiraja . Silahi sabungn nampak bergembira karena telah mempunyai tiga orang anak laki–laki , tetapi Pingganmatio merasa kurang bergairah karena belum diberikan Tuhan anak perempuan. Hati Pingganmatio merasa sedih. Melihat Pingganmatio semakin larut dalam kesedihan, Silahisabungan kemudian minta izin dan pamit kepada isterinya untuk pergi bersemedi ke Gua Batu diatas bukit Silalahi. Dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar mereka diberikan seorang anak perempuan. Idaman Pinggan Matio dan Permohonan Raja Silahisabungan dikabulkan Mulajadi Nabolon. Kemudian Pingganmatio melahirkan anak keempat seorang perempuan, lalu ia berkata : “ Nunga Gabe jala mamora ahu, hubahen ma goar ni borunta on Deang Namora” (Sudah bahagia dan kaya aku, kuberikan nama Puteri kita Deang Namora - Kaya ) katanya kepada Raja Silahisabungan dengan gembira. Raja Silahisabungan juga merasa bahagia karena permintaannya dikabulkan oleh Mulajdi Nabolon ( Yang Maha Kuasa ).

Kemudian Pinggan Matio melahirkan anak kelima, seorang anak laki – laki. Pada waktu kelahiran anak kelima ini, Silahisabungan tengah mengganti atap rumah yang terbuat dari kayu butar. Oleh karena itu mereka membuat nama anak kelima ini Butarraja.

Pada waktu kelahiran anak keenam, Raja Silahisabungan sedang berada di pulau Samosir untuk mencari tanah kosong untuk keturunannya kelak. Tanah itu kemudian disebut “ Luat Parbaba.” Setelah Raja Silahisabungan kembali dari seberang ( bariba) dijumpainya telah lahir seorang anak laki-laki. Karena ia baru tiba dari bariba ( seberabg ) maka diberilah nama anak itu Dabaribaraja.

Kelahiran anak ketujuh Silahi sabungan yang ditandai dengan terjadinya bencana alam. Pada saat Pingganmatio melahirkan, turun hujan lebat sehingga terjadi tanah longsor ( tano bongbong ) di Silalahi Nabolak dan kejadian itu mengagetkan Silahi sabungan berserta isterinya Pingganmatio. Kemudian mereka membuat nama anak laki–laki yang baru lahir itu Debongraja = Debangraja.

Ketika Silahi sabungan sedang bersemedi di Gua batu diatas bukit Silalahi, tiba waktunya Pingganmatio untuk melahirkan kembali. Mungkin karena faktor usia Pingganmatio merasa kesakitan, sehingga mengerang ia dan minta bantuan. Anak sulung Lohoraja yang melihat ibunya mengerang kesakitan, ia kemudian segera menyusul ayahnya Silahi sabungan ke bukit untuk memberitahukan. Silahi sabungan kemudian meramu obat salusu ( obat penambah tenaga ), Pingganmatio kemudian melahirkan seorang anak laki–laki lagi. Menginngat kisah ini, kemudian Silahisabungan memberikan nama anak itu Baturaja. Dengan kelahiran Baturaja maka anak keturunan Silahisabungan dari Pingganmatio boru Padangbatangari berjumlah delapan orang, tujuh orang anak laki – laki dan seorang puteri.

Semenjak kelahiran Baturaja, Raja Silahisabungan sering berpergian keluar kampung Silalahi untuk Manandanghon Hadatuon (menyabung ilmu) ke daerah Samosir, Simalungun dan Tanah Karo.

SEJARAH RAJA SILAHISABUNGAN

SEJARAH RAJA SILAHISABUNGAN

by. Mayamaya ( sumber : buku memori Silahisabungan / J. Sihaloho )

Menurut buku Tarombo Siraja Batak , Raja Silahisabungan adalah generasi ke -5 dari Siraja Batak . Silsilahnya adalah sbb:

1. Guru Tateabulan dan 2. Raja Isobaon .
1.Guru Tateabulan , mepunyai 5 (lima )orang anak laki-laki , yaitu :
1.1. Siraja Biak – biak .
1.2. Sariburaja
1.3. Limbongmulana.
1.4. Sagalaraja.
1.5. Silauraja.

2. Rajaisobaon, menpunyai 3 ( tiga ) orang anak laki –laki , yaitu:
2.1. Tuan sorimangaraja
2.2. Siraja asi –asi
2.3. Songkar samaridang

Tuan sorimangaraja , mempunyai 3 ( tiga ) anak laki – laki yaitu :
1. Tuan Sorba ni Julu atau nai ambaton , mempunyai kerajaan di pangururan Samosir.
2. Tuan Sorba ni Banua atau nai Suanon, mempunyai kerajaan di balige Toba.
3. Tuan Sorba ni Jae atau nai Rasaon , mempunyai kerajaan di Sibisa puluan .
Tuan Sorba ni Banua , seorang raja yang perkasa di Balige mempunyi 2 (dua ) orang istri ,yaitu Anting
malela boru Pasaribu dan boru Basopait . dari boru Pasaribu lahir anaknya 5 (lima ) orang anak laki –laki ,
yaitu :

1. Raja Sibagot ni Pohan ,mempunyai kerajaan di balige.
2. Raja Sipaittuah, mempunyai kerajaan di Laguboti.
3. Raja Silahisabungan , mempunyai kerajaan di Silalahi.
4. Siraja Oloan mempunyai kerajaan di Bakara.
5. Siraja hutalima tidak mempunyai keturunan .

Dari Borupasopait lahir anaknya 3 (tiga ) orang laki – laki yaitu :
1. Toga Sumba menpunyai kerajaan di Humbang.
2. Toga Sobu, mempunyai kerajaan di Silindung .
3. Toga Pospos, mempunyai kerajaan di Silindung

RAJA SILAHISABUNGAN , diperhitungkan lahir tahun 1300 diLumban Gorat Balige dan meninggal tahun 1450 di Silalahi Nabolak.Raja Silahisabungan terkenal seorang “ Datu Bolon “dan termansyur.
Banyak bertita –berita yang menakjubkan tentang Raja Silahisabungan dan keturunannya yang
tertulis dalam buku Tarombo Siraja Batak maupun ceritanya yang terdapat pada keturunan Tuan Sorbani
Banua maupun marga – marga lain ,merupakan bunga rampe sejarah Raja Silahisabungan.

Perkawinan Silahisabungan dengan Pinggan Matio

Setelah Raja Parultop tiba di Balla, ia disambut istrinya dan anak – anaknya, dengan rasa gembira. Mereka tercengang melihat ikan batak yang begitu banyak , lalu bertanya : “ dari mana ihan batak yang banyak ini ? biasanya bapak membawa daging rusa atau burung sekarang jadi lain, “ kata istrinya. Raja Parultop menerangkan pertemuannya dengan Silahisabungan dan menjelaskan perjanjian mereka tentang rencana perkawinan puterinya dengan Silahisabungan.

Keluarga Raja Parultop merasa gembira mendengar berita itu, lalu mempersiapkan peralatan untuk perkawinan puterinya . setelah tiba hari yang ditentukan berangkatlah Raja Parultop bersama rombongannya ke Silalahi dan setelah tiba diatas bukit Laksabunga, Raja Parultop menyalakan api tanda bahwa mereka sudah datang. Melihat asap api itu, Silahisabungan pun menyalakan api tanda bahwa ia telah siap menyambut kedatangan rombongan Raja Parultop.

Silahisabungan menyambut rombongan Raja Parultop ditepi sungai yang agak dalam airnya. Raja Parultop bertanya dalam hati, mengapa Silahisabungan menyambut kami disungai yang agak dalam airnya ini ? kemudian Silahisabungan berkata : “ Tulang suru hamu ma borumuna I sada – sada rot u bariba on, asa hupillit na gabe par sinondukhu. “ ( paman, suruhlah putrinya menyeberangi satu – persatu supaya kupilih yang menjadi istriku ). Baru Raja Parultop mengerti mengapa Silahisabungan menyambut mereka ditepi sungai itu, lalu menyuruh puterinya satu – persatu menyeberangi sungai itu, dengan menjunjung bakul berisi
tipa – tipa. Dari mulai puteri pertama sampai putrid ke enam, rupanya cantik rupawan, rambutnya bagaikan mayang terurai tetapi satupun tidak mengenai dihati Silahisabungan. Baru putri ketujuh yang rupanya agak jelek dan mata agak kero, Silahisabungan melompat menyambut putrid Raja Parultop dan berkata : “ inilah
pilihanku paman, menjadi istriku, mudah – mudahan paman merestui dan Mulajadi Nabolon memberkati semoga kami menjadi rumah tangga yang bahagia dan mempunyai keturunan yang banyak, “ katanya.

Sebelum diberkati, Raja Parultop masih menanya Silahisabungan lalu berkata : “ Mengapa kau pilih putrid bungsu ini ? perawakannya agak pendek dan rupanya pun jelek, padahal kakaknya semua cantik parasnya “. Kemudian Silahisabungan menjawab : “ paman, memang kakak yang enam orang itu semuanya cantik rupanya, tetapi tidak merasa malu tadi menarik sarungnya keatas lututnya sewaktu menyeberangi sungai ini, “ katanya dengan halus. Sebenarnya gadis yang enam orang itu dilihat Silahisabungan dapat berjalan diatas air karena mereka adalah manusia jadi – jadian ( jolma so begu ) yang dibuat Raja Parultop untuk menguji kedukunan Silahisabungan. Tetapi hal itu tidak dinyatakannya supaya jangan mempermalukan mertuanya. Sejak itulah sungai itu bernama “ Binangsa so maila “.

Raja Parultop dan istrinya merestui dan memberkati anak menantunya, lalu berkata : “ Goarmu ma borungku pinggan matio boru Padangbatanghari, anggiat ma tio parnidaan dohot pansarianmu tu jolo ni ari. Asa boru parsonduk bolon ma ho sipanggompar sipanggabe, partintin na rumiris parsanggul na lumobi, paranak so pola didion, parboru so pola usaon. Panggalang panamu, sipatuat na bosur, sipanangkok na male. Ho pe hela na borju,goarmu silahisabungan, sabungan ni hata sabungan ni habisuhon dohot sabungan ni hadutoan. Nunga dipatuduhon ho habisuhon do hot hadatuonmu na mamillit parsinondukmon, partapian
simenak enak maho perhatian so ra monggal parninggala sibola tali. Asa saut ma ho gabe raja bolon jala na tarbarita, pasu-pasuon ni mulajadi Nabolon,”katanya.

Setelah selesai pemberkatan, rombongan raja Parultop kembali ke Balla, tinggalah silahisabungan dengan pinggan Matio boruPadangbatanghari memulai hidup baru dan membuka kampung bernama huta Lahi. Berselang sembilan bulan, rasa rindu pun mulai bergelora untuk berjumpa dengan orang tuanya.
Diajaknnya silahisabungan pergi ke Balla mengunjungi keluarga. Silahisabungan yang sangat saying kepada isteri tercinta mengabulkan dengan senang hati.

Pada suatu hari pergilah silahisabungan Bersama Pinggan Matio boru padangbatanghari kekampung mertuanya di Balla. Sewaktu mendaki bukit silalahi,isterinya yang sudah hamil tua mulai merasa dahaga. Rasa penat mulai terasa, sehingga mereka mengaso dilereng bukit yang terjal. Rasa haus pinggan Matio mulai mendesak dank arena capeknya ia bersenandung dengan sedih : “ Loja ma boruadi mamboan tua sian mulajadi, mauas ma tolonan ndang adong mangubati. Jonok do berengon sillumalan na so dundungonki,
boha do parsahatku tu hota ni damang parsinuan, dainang pangintubu I, “ katanya. ( sudah lelah aku membawa kandungan, rasa haus tak ada mengobati. Nampak dekat air danau tetapi tak boleh terjangkau, apakah aku sampai dikampung orang tuaku. )

Mendengar keluhan istriku, Silahisabungan mengambil Siorlombing ( tombak ) dari kantongannya, lalu berdoa kepada Mulajadi Nabolon agar diberikan air penghidupan ( mual sipaulak Hosa ) karena Pinggan Matio merasa haus,kemudian silalahisabungan menancapkan Siorlombinmgngnya ke dinsing batu
terjal dan keluarlah air, lalu diminum Pinggan Matio sepus puasnya, Air itulah yang di sebut”Mual Sipaulak hosa,”yang terdapat dilereng bukit Silalalahi Nabolak.Ssetelah rasa haus hilang dan tenaga mulai pulih,mereka meneruskan perjalanan kekampung mertuanya di Balla.

Kedatangan Silalahisabung dan Pinggan Matio disambut keluarga Raja Parultop dengan gembira
apalagi setelah dilihat putridny sudah hamil tua.
Karena pinggan Matio sudah hamil tua, mertua Silahisabungan meminta agar putrinya tinggal di Balla menunggu kelahiran anaknya, karena Silalahi tidak ada teman mereka membantu.
Setelah beberapa bulan mereka tinggal di Balla, Pinggan Matio melahirkan seorang anak Laki – laki. Silahisabungan merasa gembira dan bersyukur karena dia sudah menjadi seorang ayah. Begitu juga Raja Parultop dan istrinya merasa berbahagia karena sudah ada cucu dari putrinya Pinggan Matio. Mereka berencana untuk mengadakan perhelatan besar sambil membuat nam cucunya itu. Rencana itu diberitahukan
kepada menantunya Silahisabungan, yang disambut dengan senang hati.

Raja Parultop mengundang Raja – Raja dan penduduk negeri untuk menerima adapt dari
Silahisabungan sambil menobatkan nama cucu yang baru lahir. Pada pesta perhelatan itu Raja Parultop berkata : “ bapak dan ibu yang kami hormati, sudah lebih satu tahun puteri kami Pinggan Matio berumah tangga dengan Silahisabungan dan telah dianugerahi Tuhan seorang anak laki – laki. Selama ini kami merasa ragu – ragu karena belum terlaksana adapt yang berlaku. Hari ini tibalah saatnya anak menantu kami
membayar adapt sekali gus memberi nama cucu yang baru lahir dan menobatkan ayahnya menjadi Raja.”

Kemudian Raja Parultop mengatakan : “ Nunga lolo raja, jalanunga loho roha, hubanen ma goar ni pahompu on Si Lihoraja.” ( Sudah berkumpul semua Raja, sudah bulat dan puas pikiran = loho roha
kuberikan nama cucuku ini Si Lihoraja), katanya. Beberapa minggu setelah pesta, Raja
Silahisabungandengan istrinya Pinggan Matio kembali ke Silalahi Nabolak. Putera sulung Si Lohoraja
kemudian dojodohkan ( dipaorohan 0 dengan putrid pamannya Ranim Bani boru Padangbatanghari.

Selama dua tahun mereka tidak pernah lagi datang ke Balla. Karena sudah dua tahun tak pernah
datang Raja Silahisabungan dan Pinggan Matio ke Balla, rasa kangen dan rindu Raja Parultop timbul lalu
merkata kepada istrinya : “ Sitingkir jolo borunta tu silalahi, aku sudah rindu] katanya.Bertepatan dengan
kehadiran Raja Parultop di Silalahi Pinggan Matio ,melahirkan anak kedua seorang laki – laki. Kemudian
anak itu diberi nama Tingkir raja atau Tungkirraja.

Pada suatu ketika Raja silahisabungan bertukang membuat tempat tidur ( rusbang ) dari kayu bulat
yang disebut “Sondi” Setelah tempat tidur selesai dikerjakan , Pinggan Matio melahirkan anak ketiga
seorang laki – laki, yang kemudian diberi nama Sondiraja . Raja Silahisabungn nampak bergembira karena
telah mempunyai tiga orang anak laki – laki , tetapi Pinggan Matio terasa kurang bergairah karena belum
diberikan Tuhan anak perempuan.


Hati pinggan matio yang gundah gulana diperhatikan Raja Silahisabungan, lalu ia pergi bersemedi
kegua Batu diatas Huta Lahi. Dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar mereka diberikan seorang anak
perempuan. Idaman Pinggan Matio dan Prmohonan Raja Silahisabungan dikabulkan Mulajadi Nabolon.
Pinggan Matio melahirkan anak keempat seorang perempuan, lalu ia berkata : “ Nunga Gabe jala mamora
ahu, hubahen ma goar ni borunta on Deang Namora,” ( Sudah bahagia dan kaya aku, kuberikan nama Puteri
kita Deang Namora =Kaya) katanya kepada Raja Silahisabungan dengan Suka cita. Raja Silahisabungan
juga merasa bahagia karena permintaannya terkabulkan.

Kemudian Pinggan Matio melahirkan anak kelima, seorang anak laki – laki. Pada waktu kelahiran
anak kelima ini, raja Silahisabungan baru mengganti atap rumah yang terbuat dari kayu butar. Oleh karena
itu mereka membuat nama anak kelima ini Butarraja atau Sidabutar / Sinabutar.

Pada waktu kelahiran anak keenam, Raja Silahisabungan sedang berada di pulau Samosir untuk
mencari tanah kosong menjadi milik keturunannya kelak. Tanah itu kemudian disebut “ Luat Parbaba.”
Setelah Raja Silahisabungan kembali dari seberang ( Bariba) dijumpainya telah lahir seorang anak laki-laki.
Karena ia baru tiba dari Bariba ( seberabg ) maka diberilah nama anak itu Dabaribaraja atau Sidabariba.

Kelahiran anak Raja Silahisabungan yang ketujuh ditandai dengan terjadinya peristiwa alam. Pada
saat Pinggan Matio melahirkan, turun hujan lebat sehingga terjadi tenah longsor ( tano bongbong ) di
Silalahi Nabolak. Karena Tano Bongbong ( Tanah Longsor ) itu mengagetkan Raja Silahisabungan dan
Pinggan Matio, maka mereka membuat nama laki – laki yang baru lahir itu Debongraja = Debangraja atau
Sedebang.

Anak Raja Silahisabungan yang kedelapan bernama Baturaja atau Pintubatu. Pada waktu kelahiran
anak bungsu Pinggan Matio ini, Raja Silahisabungan sedang bersemedi di Gua batu diatas Huta Lahi. Saat
melahirkan itu, Pinggan Matio merasa lelah karena Faktor usia, sehingga mengerang minta bantuan.
Lohoraja yang melihat ibunya mengerang pergi mamanggil Raja Silahisabungan. Raja Silahisabungan buat
obat salusu ( obat penambah tenaga ), Boru Pinggan Matio melahirkan seorang anak Laki – laki. Karena
Silahisabungan dipanggil dari Gua Batu maka diberilah nama anak itu Baturaja atau Pintubatu. Dengan
kelahiran Baturaja maka anak Raja Silahisabungan dari Pinggan Matio boru Padangbatanghari berjumlah
delapan orang, tujuh orang anak laki – laki dan seorang puteri.

Semenjak kelahiran Baturaja, Raja Silahisabungan selalu manandanghon Hadatuon (Bertanding
ilmu) ke Samosir, Simalungun dan Tanah Karo.

Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan

Konsep : Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan
( Dampak Modernisasi vs Kultur Batak )

Oleh. Mayamaya

Satu hal yang menarik adalah bahwa konsep Dalihan Natolu merupakan prinsip sosial yang hanya dimiliki oleh etnis Batak.
Jika diartikan secara gamblang, memang Dalihan Natolu adalah tungku dengan tiga buah batu. Kita tau banyak model tungku yang biasa dipergunakan masyarakat Batak khususnya. Namun Dalihan Natolu yang dimaksudkan disini bukanlah seperti arti yang gamblang diatas.
Dalihan Natolu disini ‘sarat’ makna khiasan.

Dalam Batak Toba dikenal istilah Dalihan Natolu. Dalam Batak Simalungun selain istilah Dalihan Natolu, dikenal juga dengan istilah Tolu Sahundulan.
‘ Manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula’.

Saya melihat konsep ini sangat luar biasa bila dibayangkan dengan tingkat peradaban Nenek Moyang orang Batak terdahulu. Dimana Nenek Moyang kita sudah mampu membangun sebuah model tatanan sosial sedemikian bagus. Hula-hula ( bahasa Simalungun : Tondong ), Dongan Tubu ( bahasa Simalungun : Sanina) dan Boru menjadi tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan ditengah-tengah hubungan sosial dan kekerabatan adat masyarakat Batak. Dalam kegiatan Ulaon misalnya, maka ketiga unsur harus terpenuhi dan inilah menjadi subjek ( menurut kategori Ulaon, Adat dan lingkup kekerabatannya ). Artinya, setiap orang akan menempatkan posisi dan fungsinya diantara ketiga subjek tersebut.


01) Pengaruh Agama.

Jauh sebelumnya masyarakat Batak telah menganut faham kepercayaan Parmalim ( dalam bahasa Simalungun dikenal : Sipajuh Begu-begu ) sampai kemudian datangnya pengaruh Hindu, syiar agama Islam dan Missionaris Kristen ).
Setelah masyarakat Batak memeluk agama, konsep Dalihan Natolu atau Tolu Sahundulan mengalami proses pelurusan. Berbeda dengan praktek ritual budaya Adat Batak yang kemudian banyak mengalami perbaikan / penyesuaian karena bertentangan dengan konsep Agama yang dianut. Karena memang agama tidak mempermasalahkan budaya selagi itu tidak bertentangan dengan ajaran agama tersebut.

Konsep Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan adalah universal sehingga tidak mempersoalkan agama . Berbeda dengan tarombo, Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan adalah murni tatanan horisontal / hubungan sosial budaya masyarakat Batak. Hanya saja pada pelaksanaannya tetap tunduk dan menghormati nilai-nilai agama yang ada. Memang pada umumnya masyarakat kita mengidentikkan etnis Batak dengan agama Kristen, hal ini mungkin dikarenakan etnis Batak pemeluk agama Kristen lebih konsisten memperlihatkan nilai-nilai kultur adat Batak itu sendiri.


02) Pengaruh Peradaban / Modernisasi.

Tak dapat dipungkiri, arus perkembangan peradaban tak dapat dibendung dan mau tidak mau konsep Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan harus diadaptasi. Dalam era Minimalis seperti sekarang ini, tatanan sosial masyarakat bergeser menjadi lebih kritis, praktis, cepat dan tepat guna ( efisien ).

Nyatanya , gejala pengikisan pemahaman konsep Dalihan Natolu / Tolu Sahundulan seakan menjadi lebih sempit dari generasi ke generasi. Para orangtua juga sepertinya hanya setengah hati dalam mewariskan nilai-nilai budaya yang semestinya kita pertahankan.


Pertanyaannya :
Masihkah kita eksis sebagai etnis Batak yang mau membudayakan konsep Dalihan Natolu ?


Karawang, Januari 2008

Senin, 18 Februari 2008

Sejarah dan mitos : realis kah ?

Asal ni Batak

Boi dohonon, nang pe na tolu parkaro on ndang torang dope di godang halak hita, anggona gumolap di sejarah ni Batak (Toba) ima asal-mula ni halak Batak maringan di Tano Batak. Anggo mangihuthon pamaresoon ni angka sarjana, Batak Toba do didok songon bona parserahan ni sude Batak naasing (Angkola-Mandailing, Pardembanan, Pakpak, Simalungun, Karo). Lan na asing na taboto taringot asal-mula ni Batak, songon huta Sianjur Mulamula dohot Si Raja Batak, holan sian turi-turian (mitos) dohot tarombo (silsilah) nama. Turiturian mandok, Si Raja Batak jalo do ditompa Mulajadi Nabolon marhite Si Boru Deak Parujar di Sianjur Mulamula. Dua anakna, Guru Tatea Bulan dohot Raja Isumbaon, ima ompu ni na dua marga bolon di halak Batak, Lontung dohot Sumba. Dung pe sian nasida nadua asa adong tarombo sahat tu hita saonari. Marhite tarombo i diado, tar hira 20 sundut ma (20 x 25 taon = 500 taon) sian ompu na dua i tu hita on. Jadi, aut sura sintong tarombo i, tar hira taon 1500-an ma halak Batak mulai mian di Sianjur Mulamula.

Bahat do anggo pandohan ni angka sarjana taringot asal-mula ni halak Batak, na asing sian pandohan ni turi-turian dohot tarombo. Pandapot na tarsar baritana ima sian Robert von Heine-Geldern (“Prehistoric Research in the Netherlands Indies” na di baritahon di bagasan Science and Scientists in the Netherlands Indies, 1945; hlm. 147ff). Heine-Geldern mandok, dohot piga-piga galumbang parranto, ia halak Batak marmula sian Yunan, Cina Selatan, dohot Vietnam Utara do, tar hira taon 800 SM. Saleleng i sahat tu taon 1500, halak Batak ninna manjalo pengaruh sian kebudayaan Hindu-Budha, molo so jalo sian India, ba sian Jawa marhite Minangkabau. Aut sugari pe sintong pandapot ni angka sarjana on, tar hira so sungkup do gogo ni hatorangan on laho maningkori aek na litok tu julu. Ai so tangkas taboto tar songon dia nasida sahat tu Tano Batak si saonari, jala ala ni aha nasida buhar sian inganan vii nasida na parjolo i. Alai, haru pe songon i, mansai gomos do halak Batak maniop hatorangan na songon on, jala boi dohonon gabe ndang adong be hagiot mangalului hatarongan na imbaru taringot tu asal-mula i. Sasintongna, hatorangan na imbaru na tolap mangurupi hita nunga leleng adong, ima di taon 1944, tingki terbit catatan pardalanan ni Tomé Pires na nisunting ni Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires: An Accounts of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515. Tomé Pires ima sahalak apoteker bangso Portugis na gabe Kepala Gudang Rempah-rempah Portugis di Malaka. Habis i gabe duta besar ma ibana di Cina. Ratusan taon catatan na i holip
di perpustaan Prancis, jala tarjaha Armando Cortesao ma i di taon 1937. Dung pe terbit catatan on taon 1944 asa torang saotik tar beha rumang ni Nusantara, tarmasuk Sumatra di parmulaan ni Abad XVI. Barita ni Tomé Pires mamungka sian Kalimantan (Borneo), Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Banda, Seram, Ambon, Maluku, dohot pulo-pulo Karimun. Didok ibana, Pulo Sumatra (Camotora) bidang jala maduma. Parjolo ma dibaritahon ibana pulo Weh, naginoarna pulo-pulo Gomez (Gamispola). Sian pulo di ujung ni Aceh i, torus ma ibana mangoris-oris Selat Malaka, mangaliati Sumatra uju pastima tu Pansur (Pamchur) jonokhon tu Barus, jala sian i mulak muse tu Gamispola. Asing sian Gamispola dohot pulo-pulo na humaliangna, Tomé Pires mamilangi adong 19 harajaon (reino) dohot 11 negeri manang luat (terra) di pulo Sumatra uju i. Asing sian Gamispola dipajojor ibana ma rumang ni Harajon Aceh (Achei) dohot Biar Lambry, Pedir, Pirada, Pasai (Paçee), Batak (Bata), Aru, Arcat, Rupat, Siak (Ciac), Kampar (Campar), Tongkal (Tuncall), Indragiri (Amdargery), Capocam, Trimtall [Tongkal?], Jambi, Palembang (Palimbao), Negeri Sekampung (Çaçanpom), Negeri Tulang Bawang (Tulimbavam), Negeri Andalas (Andallos), Negeri Pariaman (Pirjaman), Negeri Tiku (Tiquo), Negeri Panchur, Negeri Barus (Baruez), Negeri Singkel (Chinqele), Negeri Meulaboh (Mancopa), Negeri Daya, Negeri Pirim [Pedir?], jala mulak muse tu Gamispola. Didok taringot rumang ni adaran sian Siak tu Jambi, sian Pariaman tu Panchur di topi pastima ni Sumatra, saluhutna i ninna tarmasuk tu Negeri Minangkabau (Menamcabo), na tolu rajana. Raja na tolu i didok maringan dao tar tu tonga ni luat i (pedalaman). Pires mandok bahat mas di Pulo Sumatra, dung i dua massam gota ni hau, na boi dipangan ninna jala margoar camphor, adong muse lada, sutra, haminjon, damar, situak ni loba, miak tano (pitch), balerang, hapas, hotang. Bahat muse do ninna eme, juhut, dengke (peda). Adong muse ninna marmassam miak, tuak (wine), tarmasuk ma i tampoy, na horis tu anggur Eropa. Marragam boras ni hau, songon durian, na tung mansai tabo ninna Pires. [Lapatanna, tung mansai maduma do angka luat i di tingki i].

Bahatan do ninna angka luat i nunga marugamo Islam (Moor), holan otik nama na martahan marugamo “si pele begu” (heathen). Di topi pasir uju purba ni Sumatra, sian Selat Malaka sahat tu Palembang, saluhut raja disi nunga marugamo Islam ninna, alai dung sae Palembang sahat tu Gamispola tong dope “si pele begu” ninna, songon angka raja na dingkan bagasan (pedalaman). Pires mandok jotjot do ibana mambege barita taringot hasomalan mangallang jolma di negeri “si pele begu” i, ima molo tartangkup musu nasida. Aceh didok songon harajaon na parjolo dipareso Pires di sandok Selat Malaka bagian Sumatra. Dungi pe asa luat Lambry. Tar jurjur tu bagasan ima harajaon Biar, vii jadi di holang-holang ni Aceh dohot Pedir. Luhut angka luat naginoaran tongkin on tunduk ma i ninna tu Harajaon Aceh. Raja Aceh nunga maragamo Islam, jala tarbarita songon raja na tangkang manjuara di negeri na humaliang. Bangso Portugis manuhas, sipata raja Aceh olo dope ninna margapgap di laut (bajak laut). Sahali margapgap naung otik ma ninna molo marudur 30-40 “lancar” manang sampan (lanchara). Aceh ninna manggadis bahat juhut, boras, angka bohal sipanganon na asing, tuak tangkasan ni luat i. Adong muse do ninna lada, nang pe ndang sadia bahat. Di tingki i, harajaon Pedir marmusu dope ninna maradophon Aceh. Mansai bernit do ninna parniahapan ni Pedir dibahen Aceh. Ndang sadia leleng mandapothon tingki i, harajaon na bongak dope ninna Pedir, huhut maduma sian partiga-tigaan. Bahat hian dope sian angka harajaon naung dihuasoi Aceh tunduk tu Pedir, tarmasuk muse Aeilabu, Lide, dohot Pirada. Sanga do ninna Pedir marhuaso di pintu ni Selat Malaka, margulut dohot Pasai. Harajaon Pedir torus dope martahan sahat tu taon 1510. Huta sabunganna masuk tar hira satonga liga (league manang tolu km) tu julu ni sunge. Sahat tu tingki na manurat barita i (1513) bahat dope halak sileban sian marmassam bangso mian di huta sabungan i. Nang pe dibagasan parmusuon dohot Aceh, hinabongak dohot hinaduma ni Pedir tong dope disi ninna. Naung otik ma ninna dua hopal sataon ro sian Cambay dohot Benggala tu Pedir, sada hopal sian Benua Quelim (Negeri Keling), jala sada sian Pegu. Disi dung marombus alogo laut, migor borhat muse ma ninna bahat yung dohot parau, pola tar 20 bahatna, marisi boras tu Tranggono, Kedah, dohot Barus. Alai dung talu Malaka dibahen Portugis taon 1511, gabe gale nama partiga-tigaan ni Pedir, tarlobi dung monding sultan nasida, Muzaffar Shah. Adong dua anak tadinganna, alai metmet dope. Ala ni i margulut jabatan dohot harajaon ma angka panguaso ni Pedir. Pedir nunga mamahe hepeng. Hepeng metmet digoari ma ceitis, hepeng balga digoari muse ma drama, sian mas. Sada hepeng Portugis (cruzado) marasam ma sia
drama.

Dung Pedir, ima harajaon Pasai (na targoar songon Çamotora manang Sumatra). Pasai tongon ma tutu pajogi bana tingki i (lagi naik daun), ima jalo dung dihuasoi Portugis Malaka. Uju utara ni Pasai, ima harajaon Pirada, jala tungkan daksina ima harajaon Batak (Bata). Harajaon Pasai torus dope sahat tu topi tao uju pastima, ima Laut Hindia. Saudagar sian desa na ualu, asing ni na sian purba, paturo do tu Pasai, songon saudagar Rume [Bizantium?), Turki, Arab, Parsi, Gujarat, Keling, Benggali, Melayu, Jawa, dohot Siam. Alai molo saudagar sian purba tu Malaka do. Ala saudagar sian purba i angka parbarang na bahat ninna, 10 Pasai ndang tolap dope ninna mangalo Malaka. Bahatan pangisi ni Pasai ninna ima pinompar sampuran ni Benggali/Koling dohot halak Pasai asli. Huta sabungan ni Pasai, ima na margoar Sumatra i, 20.000 halak pangisina ninna, jadi nunga tardok balga. Raja Pasai nunga masuk Islam 60 taon lelengna mandapothon taon 1513. Huaso ni raja nigantihonna, na marugamo si
pele begu dope, suda otik-otik digotili angka saudagar na marugamo Islam. Dung ro Islam, mullop ma adat na imbaru: manang ise na barani boi do mamunu raja, asal ma maragama Islam. Molo marhasil, gabe raja ma ibana. Adat on ninna naro do sian Benggala, tingki i mangolu dope adat na songon i di bona pasogit Benggala. Ix Nah, uju daksina ni Pasai ma harajaon Batak (Bata). Uju daksina ni harajaon Batak ma harajaon Aru. Raja ni Batak i ninna margoar ma Raja Tamiang (Tomyam), ra mangihuthon (manang diihuthon) goar ni sada sunge disi na margoar Tamiang, songon na hea dibaritahon halak Portugis naasing, ima Castanheda. Raja Tamiang gabe hela ni Raja Aru do ninna tingki i. Halak Portugis na sada nari muse, ima Pinto, mamaritahon ia raja ni Batak i ima Raja Timur Raya do goarna. Raja Tamiang manang Timur Raya on nunga marugamo Islam, alai ninna sipata olo dope ibana margapgap di laut (bajak laut). Sada sian hopal na hea digapgap raja on ima Flor de la Mar (Bunga Laut). On ma sada sian opat hopal di bagasan armada na niuluhon ni Gubernur Jenderal Portugis, Alfonso de Albuquerque sian Malaka tu Goa. Tongon tanggal 1 Desember 1511, handas ma armada i uju mandapothon Pasai. Torop do na mate, maluha, jala mago pangisi ni kapal i, jala bahat muse dibuat arta sian i, alai anggo Albuquerque malua do. Negeri Batak mangekspor boras, parbue, tuak, si tuak ni loba, lilin, hapur barus, alai tarlobi ma miak lampu (pitch) dohot “rotan” (rotaã didok pangisi ni luat i). Tontu ndang pola longang iba molo Raja Timur Raya, raja ni Batak i, mamora jala maduma. Na begu muse do raja on ninna, ai barani do ibana marporang mangalo harajaon Pasai, gariada tahe mangalo harajaon ni simatuana, harajaon Aru. Alai, porang na jumotjot ima maralohon angka pangisi ni luat na dinghan bagasan (pedalaman). Tar songon i ma sada hatorangan na mansai arga taringot asal-mula ni halak Batak. Aha lapatan ni hatorangan on tu parsoalanta na di ginjang i?

Situntun lomo ni roha manjalahi papaga na lomak

Molo pinareso peta, harajaon Batak on boi dohonon marhapeahan ma di Langkat-Deli- Siak di topi purba ni Sumatra, tu Alas-Gayo-Simalungun di tonga-tonga, jala boi do ra i torus tu Singkil-Barus di topi pastima ni Sumatra. Molo songon i do tutu, ise ma na mian di humaliang ni Tao Toba? Molo adong otik pe hasintongan di tarombo ni Batak Toba i, ba tar di taon 1500-an ma nasida mulai mian disi, tingki ojak dope harajaon ni Batak naginonggoman ni Raja Tomyam manang Timur Raya. Mangihuthon hatorangan na di ginjang on, gabe tubu ma tutu sungkun-sungun bolon saonari, ise ma na mian donok ni Tao Toba i, jala boasa nasida torus margoar Halak Batak sahat tu sadarion, hape Harajaon Batak nangkin ndang adong be? Nda tung angka nigonggoman ni Raja Tomyam (Timur Raya) nasida, manang angka pangulima na so olo mengihut gabe Islam? Manang naung jumolo do nasida maringan di humaliang ni Tao Toba ipe asa gabe Islam Harajaon Batak, jala alani i las digotap ma parsaoran nasida dohot Harajaon Batak i? Angka tar songon on ma sungkun-sungkun na ingkon jumolo alusan, ipe asa tolap hita mengoris-oris mata ni mual tu julu. Torang ma tutu olohonon na so sungkup dope angka hatorangan ni sejarah laho mangalusi sungkun-sungkun na songon on.

Alai nang pe songon i, dohot hatorangan na adong on, torang ma tutu saonari taantusipiga-piga parkaro. Parjolo, nunga olo ra ndang botul be pangantusionta na saleleng on bahasa Toba ma asal-mula parserahan ni Halak Batak saluhut. Na sumintong ra ima, martektuktektuk
do ra rombongan ni Halak Batak na maporus sian jonokhon ni Tamiang di tingki mangalului inganan na imbaru nasida di humaliang ni Tao Toba, jadi ndang marasal sian Sianjur Mula-mula saluhut ianggo Batak. Ra, rombongan na mamillit donokhon ni Tao Toba gabe digoari ma Halak Toba, songon i ma Simalungun, Pakpak, Karo, Silindung, Pardembanan, Sipirok, Angkola, Mandailing, dln. Tontu sampur jala marsitopotan dope ra nasida molo tarbahen, jala marhite i gabe tarpiaro nasida ma ra angka adat nang marga habatahon nahinan songon nabinoan nasida sian luat asal. Alai, dung lam leleng, ala maol ni pardalanan, gabe ummura nama ra piga-piga rombongan margaul dohot angka halak Batak na gabe Islam di topi-topi ni laut i dohot angka halak sileban. Leleng lam leleng dung songon i, gabe lam asing nama ra
paradaton dohot panghataion nasida. Paduahon, molo sinigat sian turiturian dohot tarombo i, jalo sian Debata do ro ninna ianggo Si Raja Batak marhitehon Si Boru Deak Parujar. Lapatan ni on ima, ndang diakui nasida be asal nasida sian luat ginonggoman ni Raja Timur Raya. Gotap ma tutu partalian nasida, “bogas ni patna na sora degeon, timus ni apina na sora idaon.” Antong molo songon i, angka halak na ngilngil do huroha anggo angka Batak na “imbaru” i, angka na barani manuntun lomo ni rohana. Situntun lomo ni roha ma tutu anggo nasida, sijalahi papaga na lomak. Ndang si jalo na masa sambing ra nasida, na malo padomu diri. Angka jolma si lului dalan na imbaru do ra nasida jala sitotas nambur, na malo jala na bisuk mangadopi hagogotan. Asa lam torang hilalaon tibas na mardua on, tar pinatudos ma jolo satongkin Halak Batak “naimbaru” on tu Halak Australia si Bontar Mata (white Australians). Pinatudos i, ala tar bahat do na sarupa di sejarah ni nasida. Rap angka halak na
bali do nasida (Batak pabali diri, Australia Putih dipabali). Rap mamutus partalian do nasida sian tano asal. Batak mangasahon dolok dohot rura, Australia Putih mangasahon laut, dolok, dohot rura. Halak Australia (putih) tarpaojak ma di 26 Januari 1788. Di ari i, dipatuat ma di topi tao di holbung ni Botany Bay (New South Wales), Australia, 548 baoa dohot 188 borua. Ima Halak Australia parjolo, saluhut nasida na dipabali do sian Inggris/Irlandia songon halak hurungan (convicts). Mansai ambal do antong nasida on sian parranto Eropa parjolo tu Amerika, na bahatan angka na pantun jala parugamo (pilgrims). Manghorhon do tutu sejarah nasida i tu partondion ni Halak Australia sahat tu sadari on. Songon sinurat ni sahalak Australia (Rob Goodfellow, Australia in Ten Easy Steps), tung mansai asing do Halak Australia sian bahatan halak di portibi on.Molo bahatan halak mamestahon ari hamonangan, ari hasangapon, dohot hinajogi ni angka ulubalang, Halak Australia mamestahon ari na sabalikna, ari hataluan. Di ari 26 Januari i, minum tuak tangkasan (grog) ma tutu angka Halak Australia huhut manjou-jouhon goar ni Ned Kelly, sahalak Australia parjolo sian Irlandia, sahalak parmise na satonga senu, marpahean kaleng na hirtaon jala mamodili halak laho
paojakhon Republik Victoria. Di ari 27 April, mabuk-mabuhan do Halak Australia huhut marungkor modom sahat tu tonga ari laho mamestahon hinatalu ni sordadu nasida di parporangan Gallipoli. Jempek hata dohonon, partondion ni Halak Australia, “Aussie Battler”, ima haporseaon nasida bahasa ngilngil mula ulaon ido na ummarga jala na sumangap sian na marhasil mula ulaon. Mencoba jauh lebih berharga daripada berhasil. “Trying” is afforded more support and sympathy than “succeeding”. Halak na “gagal” jala gabe “gale” ala ni na torus marjuang mangalo na gogo, ido jolma na sangap jala na xi marsahala, ndang raja, manang na monang, manang na mora. To struggle establishes a “Battler’s” credentials. To fail heroically proves it. Patoluhon, molo botul do Halak Batak (Toba) na mian di humaliang ni Tao Toba i na jolo, ima angka halak na manadinghon Harajaon Batak nigonggoman ni Raja Tomyam, holan naeng patorushon dohot padimun-dimun “habatahon” nasida, tontu sude i tarida do ra di partondion, uhum, dohot adat hasomalan nasida. Antong tar songon dia ma ulaning partondion nasida i?

Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali

Songon naung sinunggulan di ginjang, nunga sungkup bahat anggo pangarimangion ni sarjana taringot tu adat, uhum, dohot partondion ni Halak Batak (Toba). Alai nang pe songon i, ndang adong dope sian nasida na mangujihon i tu mula mian ni Halak Batak di humaliang ni Tao Toba. Saonari, dung tabaranihon mangado rumang ni mula mian i, ra ndang maol be padomuonta i tu angka naung taboto taringot adat, uhum, dohot partondion ni Halak Batak (Toba). Molo tinimbang sian goar “Batak” nahinonghop nasida, gabe mura do adoon bahasa nadipiaro nasida do anggo adat, uhum, dohot partondion na pinungka ni ompu nasida tagan so gabe Islam dope harajaon Tomyam. Songon naung nirimangan ni na malo, Dalihan Na Tolu, Tondi-Sahala, dohot Debata Na Tolu, tar i ma ra anggo rimpunan ni adat, uhum, dohot haporseaon manang partondion nasida i. Taado ma satongkin panghilalaan ni halak na manuntun lomo dohot manjalahi papaga na lomak, na maninggalhon hinabeteng ni raja nasida, songon naniahap ni Halak Batak. Tontu ndang olo be nasida mangunsande tu huaso ni raja na tinadinghon ni nasida i. Atik adong sian nasida marhagiot gabe raja, tontu tagamonna do na ingkon aloon ni donganna na maporus i do hagiot i. Tontu ndang olo be nasida marbernit songon tingki ni Raja Tomyam. Alai beha ma nasida boi mangolu rap molo ndang adong na mangarajai? Alusna, molo ndang adong raja, ba ingkon adong ma patik namangatur asa tarbahen mangolu songon sada rombongan, sada masyarakat, sada bangso. Beha ma boi adong patik alai ndang adong sada raja na sangap, na marsahala, na marhuaso? Sungkun-sungkun na borat on dialusi Halak Batak “na imbaru” i ma tutu. Alusna, ingkon adong do patik na uli na sora mose, songon prinsip moral bersama. Tarida do i tangkas di tonggo-tonggo ni Parbaringin, ima naginoar songon patik. Didok: Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi. Ia nidok ni tonggo-tonggo huhut na gabe patik on, ingkon boi ma nian ganup halak Batak songon hatian na sora teleng, na satimbang. Ingkon boi tigor roha nasida songon ninggala na mamola tali. Ingkon boi dimpos eme sian amporik di juma agia pe ndang marumbalang, jala dimpos dorbia di jampalan agia pe ndang marbotahi. Lapatanna, dippos ngolu ndang ala ni huaso harajaon (umbalang, botahi), alai ala ni patik (sahala) sambing. Jadi tondi (sahala ima hagogoon ni tondi na tarida) hangoluon ni Batak ima Adil, Tigor, dohot Elek. Sian partondion nasongon ima mullop angka sahala, ima hagogoon dohot huaso laho manjalahi parngoluon na dumenggan di ganup-ganup bidang. Xii Patik on, tondi on, mansai tangkas tarida do di Dalihan Na Tolu. Adil (manat) maradophon dongan tubu, tigor (somba) maradophon hula-hula, jala elek maradophon gelleng. Ala ndang adong be sahalak na gabe raja, na sangap, na marsahala, torus manorus, ingkon sude nama ris gabe na sangap dohot na marsahala. Asa boi songon i, pambahenan nama andosan ni sangap dohot sahala i, ndang be nasib, ndang be tohonan (goar, arta, jabatan, pangkat). Asa tarida angka i di hangoluon siapari, tubu ma aturan adat Dalihan Na Tolu, ima na marganti-ganti ganup Halak Batak gabe dongan tubu, hulahula, manang gelleng, asa marganti-ganti jala ris dapotan sahala. Ido ra alana umbahen tubu umpasa, sisoli-soli do adat, siadapari gogo. Jadi, prinsip Dalihat Na Tolu ima “marganti”, ndang “lean ahu asa hulean ho” (quid pro quo) songon na somal taantusi nuaeng on. Nda tung mansai uli jala bagas situtu do partondion, uhum, dohot adat ni Batak molo songon i? Molo songon na maol ditangkup hita hinauli dohot hinabagas na i, patudos hita ma i satongkin dohot rimpunan partondion ni Jawa, misalna. Didok umpasa ni Jawa, ngluruk tanpa bala, ngalahake tanpa ngasorake (mamorang so marporangan, manaluhon so paleahon). Aut sura dibege Halak Batak na jolo i, ra dohonon nasida ma, “bah, dumenggan do unang mamorangi, agia pe so marporangan; dumenggan do unang manaluhon, agia pe ndang paleahon”. Lebih baik jangan menyerang kendati tanpa bala tentara; lebih baik jangan mengalahkan, kendati tanpa menghina. Sun uli partondion i gabe ndang tarulahon di hangoluon siapari? Ima da tutu,
ninna godangan sian hita nuaeng. Alai sasintongna, ima partondion na mangolu di bagasan pambaenan ni sude Singamangaraja. Sahala harajaonna ojak nang pe ndang adong porangan, ndang adong naposona, jala ndang dipapungu balasting. Tingki loja Singamangaraja XII di harangan ni Dairi dilelei Bolanda, marulahulak didok, “ndang ala utang ni daompung, utang ni damang, manang utanghu sandiri, umbahen hutaon na bernit on, holan ala ni tondi dohot sahala sian Mulajadi Na Bolon i do.” (Jaha buku sinurat ni Amanta Prof. Dr. W.B. Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, Penerbit Sinar Harapan, 1983).